Pondok Pesantren Tebuireng di Desa Cukir, Diwek, Jombang ternyata sudah berumur 123 tahun. Pesantren yang kini mempunyai sekitar 5.000 santri dan 9 cabang itu ternyata berawal dari rumah bambu seluas 48 meter persegi milik KH Hasyim Asy’ari.
Nama pesantren ini diambil dari dusun tempatnya berdiri. Yaitu Dusun Tebuireng di Desa Cukir. Kala itu, industrialisasi sudah menyentuh kampung ini. Salah satunya, adanya pabrik gula yang didirikan pemerintah kolonial Belanda.
Industrialisasi di satu sisi mengangkat perekonomian masyarakatnya. Namun, di sisi lain, perjudian dan minuman keras kian marak seiring naiknya penghasilan warga setempat. Kondisi itu lah yang memantik KH Hasyim Asy’ari untuk berdakwah.
Kakek KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini membeli sebidang tanah di Dusun Tebuireng. KH Hasyim lantas mendirikan rumah bambu sebesar 6 x 8 meter persegi. Bagian depan rumah berdinding anyaman bambu itu ia gunakan untuk mengajar para santri. Sedangkan bagian belakang sebagai tempat tinggal bersama istrinya, Nyai Khodijah.
Pendirian rumah bambu milik KH Hasyim Asy’ari pada 3 Agustus 1899 menjadi tonggak sejarah berdirinya Pesantren Tebuireng. Kala itu, santri mengaji hanya 8 orang. Tiga bulan kemudian bertambah menjadi 28 santri. Tanggal itu diperingati sebagai hari jadi pesantren tersebut hingga era modern saat ini.
“Pesantren Tebuireng didirikan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari tahun 1899. Jadi, sekarang Pesantren Tebuireng sudah berusia 123 tahun,” kata Pengasuh Pondok Putri Pesantren Tebuireng, KH Fahmi Amrullah Hadziq atau Gus Fahmi kepada wartawan di lokasi, Minggu (18/9/2022).
Selama 2,5 tahun pertama, keberadaan Pesantren Tebuireng belum sepenuhnya diterima masyarakat. Ancaman dan gangguan pun kerap datang. Bahkan, dinding rumah bambu KH Hasyim kerap dilempari dengan batu, kayu dan ditusuk dengan senjata tajam. Sehingga, para santri harus berjaga malam secara bergiliran.
Kiai Hasyim lantas meminta bantuan 4 sahabatnya dari Cirebon, Jawa Barat untuk mengatasi teror tersebut. Yaitu Kiai Saleh Benda, Kiai Abdullah Panguragan, Kiai Samsuri Wanantara, dan Kiai Abdul Jamil Buntet. Keempatnya melatih pencak silat dan kanuragan di Pesantren Tebuireng sekitar 8 bulan.
Sejak saat itu, teror menjauh dari Pesantren Tebuireng. Kiai Hasyim pun diakui ketokohannya oleh masyarakat. Sehingga, santri yang menimba ilmu darinya semakin banyak. Yaitu dari 28 orang di tahun 1899 menjadi 200 orang pada tahun 1910. Mereka datang dari berbagai daerah di Jawa dan Madura.
“Awalnya tidak ada sistem klasikal, hanya pengajian-pengajian. Yang mengisi pengajian KH Hasyim Asy’ari. Santri datang ke Tebuireng hanya mengaji, tidak sekolah di madrasah yang waktu itu belum ada. Karena yang mengaji Hadratus Syaikh, sepertinya sudah mengalahkan madrasah. Santri merasa rugi kalau tidak mengaji sekali saja,” terang Gus Fahmi.
Pesantren Tebuireng pun berkembang kian pesat. Sekitar 10 tahun kemudian, pesantren ini mempunyai sekitar 2.000 santri. Pengenalan pendidikan madrasah mulai dilakukan tahun 1919. Madrasah Nidzamiyah yang mengajarkan pengetahuan umum baru berdiri tahun 1933.
“Ada sistem klasikal (madrasah) ketika KH Wahid Hasyim mulai ikut dilibatkan di Pesantren Tebuireng. Dinamakan Madrasah Nidzamiyah. Sehingga mulai ada sistem klasikal, ada pelajaran waktu itu matematika dan sebagainya,” ungkap Gus Fahmi.
Seiring perkembangan zaman, lanjut Gus Fahmi, sekolah umum mulai didirikan di Pesantren Tebuireng tahun 1975. Yaitu SMP dan SMA Wahid Hasyim. Ketika itu, pesantren diasuh putra Kiai Hasyim, KH Yusuf Hasyim.
Pada masa kepemimpinan cucu Kiai Hasyim, KH Salahuddin Wahid atau Gus Solah, berdiri Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari tahun 2008. Sekolah ini khusus mengajarkan diniyah, kitab kuning dan sebagainya layaknya pondok salaf.
“Tahun 2014 Gus Solah ingin mendirikan pondok berbasis sains Al Qur’an. Maka berdirilah SMA Trensains, diikuti SMP, dua tahun lalu ada MTs sains di pesantren ini,” jelasnya.
Gus Fahmi menambahkan, Pesantren Tebuireng kini mempunyai sekitar 5.000 santri. Unit pendidikannya antara lain Universitas Hasyim Asy’ari, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari, MA dan MTs Salafiyah Syafi’iyah, SMP dan SMA Wahid Hasyim, SMK Khoiriyah Hasyim Tebuireng, SMA Trensains, MTs Sains Putri Salahuddin Wahid, SMP Sains, Madrasah Muallimin Hasyim Asy’ari, serta SD Islam Tebuireng.
“Yang namanya pesantren tidak hilang ruhnya. Pengajian-pengajian kitab tetap kami berikan di pesantren. Tebuireng ini gabungan antara pesantren salaf dan modern,” tandasnya.
Pesantren Tebuireng kini mempunyai 9 cabang. Yaitu Tebuireng II Pesantren Sains (Trensains) yang terdiri dari SMA Trensains dan SMP Sains, Tebuireng III Hajarun Najah Indragiri Hilir, Riau, Tebuireng IV Al Islah Indragiri Hulu, Riau, Tebuireng V Ciganjur, Jakarta, Tebuireng VI Ma’had Aly Bina Ummah Cianjur, Jabar, Tebuireng VII Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Tebuireng VIII Banten, Tebuireng IX Sibolangit, Deli Serdang, Sumut, serta Tebuireng X Rejang Lebong, Bengkulu.
SUMBER
https://www.detik.com/jatim/berita/d-6297846/sejarah-ponpes-tebuireng-jombang-yang-berdiri-sejak-123-tahun-silam/2