Salman Hudri dan Khotibul Umam
Pendahuluan Pada Industri 4.0 yang terus bergerak menuju Society 5.0. era dimana umat Islam terombang ambing antara budaya Islam dan perkembangan kekuatan modern (sekurelisasi dan modernisasi) yang sedikit banyak mempengaruhi kehidupan, pola pikir, serta gaya hidup mayoritas Umat Islam. Hal ini membutuhkan adanya evaluasi Pendidikan Agama Islam agar kegelisahan akan nilai diri sebagai manusia yang dinobatkan oleh Al-Quran sebagai Kholifah bisa tercapai di tengan-tengan glombang modernisasi yang berkembang. Berbagai krisis yang melanda manusia modern seperti krisis ekologi, epistemologi bahkan krisis eksistensial merupakan dampak dari penolakan manusia modern terhadap terhadap nilai-nilai agama. Paradigma modern dengan pendekatan positivistikantroposentris berimplikasi pada munculnya peradaban yang hanya berdasarkan kekuatan akal saja tanpa adanya cahaya tuhan (Nasr, 1994).
Perubahan dunia tersebut kemudian memunculkan dampak yang positif dan negatif yang kemudian menjadi tantangan besar bagi lembaga pendidikan. Dampak dari era ini dirasakan oleh semua kalangan, di antaranya oleh dunia pendidikan. Era ini ditandai dengan vitalnya peran teknologi dan infomasi dalam setiap aspek kehidupan manusia. Era industri 4.0 melahirkan konsep pendidikan 4.0. Konsep pendidikan ini muncul guna mempersiapkan pengetahuan dan keterampilan-keterampilan peserta didik untuk bersaing di era modern. Salah satu karakteristik dari konsep pendidikan 4.0 adalah posisi peserta didik sebagai subjek pendidikan (student centered), integrasi materi serta proses belajar mengajar (PBM) dengan tuntutan pengetahuan modern, masyarakat, dan dunia kerja (Tan, 2018).
Konsep merdeka belajar yang di canangkan oleh Nadim Makariem adalah merdeka dalam berfikir. Guru sebagai komponen utama dalam pendidikan memiliki kebebasan secara mandiri untuk menterjemahkan kurikulum sebelum diajarkan kepada para siswa, dengan guru mampu memahami kurikulum yang sudah di tetapkan maka guru akan mampu menjawab kebutuhan dari para siswa selama proses pembelajaran. Dengan ini, ancangan program pendidikan merdeka belajar diharapkan mampu mengembangkan kompetensi guru dalam pembelajaran. Pembelajaran terkesan menarik, menyenangkan, dan bermakna, sehingga dalam pencapaian tujuan pendidikan dari pihak guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik mampu terwujud. Merdeka belajar mencakup kondisi merdeka dalam mencapai tujuan, metode, materi, dan evaluasi pembelajaran, baik bagi guru maupun siswa.
Permasalahan pendidikan yang ada saat ini direspons Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (selanjutnya penulis sebut dengan Kemendikbud) dengan mengeluarkan kebijakan Merdeka Belajar, Nadiem Makarim selaku Kemendikbud secara tegas menyebutkan bahwa konsep ―Merdeka Belajar‖ yang digagasnya merupakan usaha untuk mewujudkan kemerdekaan dalam berpikir. Kebijakan ini dimulai dengan perbaikan standar mutu pendidik. Nadiem juga memberikan kritikan kepada lembaga pendidikan saat ini yang gagal menciptakan penilaian pembelajarannya sendiri (Persada, 2019).
Evaluasi pembelajaran merupakan kegiatan utama untuk mengetahui sejauh mana tingkat capaian kemampuan yang dimiliki siswa. Langkah tersebut diperlukan karena dapat dijadikan acuan dalam menetapkan suatu kebijakan pembelajaran selanjutnya. Evaluasi memiliki makna yang berbeda dengan penilaian dan pengukuran. Evaluasi didahului dengan penilaian (assessment), sedangkan penilaian didahului dengan pengukuran. Pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan membandingkan hasil pengamatan atau informasi karakteristik suatu objek. Oleh karena itu, penilaian menjadi proses terpenting dalam menentukan hasil evaluasi pembelajaran.
Metode Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan peneliti dalam artikel ini adalah pendekatan kualitatif. Sementara itu data dikumpulkan melalui metode penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengkaji berbagai literatur kepustakaan, baik berupa buku, catatan, maupun laporan hasil penelitian terdahulu yang difokuskan pada pengungkapan kebijakan merdeka belajar terhadap pengembangan evaluasi pembelajaran PAI (Moleong, 2019).
Sumber utama dalam studi ini adalah kebijakan kurikulum Merdeka Belajar yang diterbitkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.10 Sedangkan sumber sekunder didapat dari artikel jurnal nasional maupun internasional, undang-undang negara, dan sumber internet lainnya yang dapat membantu peneliti mengungkap model pengembangan evaluasi pembelajaran PAI.
Era Merdeka Belajar
Menurut KBBI Edisi V, era memiliki arti kurun waktu dalam sejarah; sejumlah tahun dalam jangka waktu antara bebarapa persitiwa penting dalam sejarah; masa. Sementara itu, ancangan program pendidikan ”merdeka belajar” oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim menegaskan bahwa guru dan siswa memiliki kebebasan dalam berinovasi, mampu belajar dengan mandiri, dan kreatif (Aesthetic, 2019). Pada dunia pendidikan, merdeka belajar mencakup kondisi merdeka dalam mencapai tujuan, metode, materi, dan evaluasi pembelajaran baik bagi guru maupun siswa (Lubis, 2020). Era merdeka belajar dapat diartikan sebagai masa di mana guru dan siswa memiliki kemerdekaan atau kebebasan berfikir, bebas pendidikan kini masih ada permasalahan terlebih dalam ketidakberhasilan guru melakukan evaluasi pembelajaran dalam mancapai tujuan pendidikan di era merdeka belajar.
Kebijakan Merdeka Belajar merupakan usaha Kemendikbud untuk mengembangkan kualitas pendidikan di Indonesia. Kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan daya saing lulusan lembaga pendidikan pada skala nasional maupun global. Diawal perkenalan kebijakan ini, berbagai kalangan meragukan penerapan Merdeka Belajar. Muncul beberapa pertanyaan mendasar, di antaranya adalah (1) bagaimana mekanisme penerapan kebijakan ekstrim ini di lembaga pendidikan? dan (2) apakah perubahan besar pada beberapa aspek Kurikulum 2013 justru tidak merusak dan memperlambat peningkatan kualitas pendidikan? Keraguan ini tidak lain didasari dari latar belakang Nadiem Makarim selaku Kemendikbud yang tidak memiliki riwayat belajar pada fakultas dan program studi pendidikan. Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan Nadiem Makarim memiliki latar belakang pendidikan pada jurusan Hubungan Internasional dan Bisnis (Arifin dan Muslim, 2020).
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam pada Kebijakan Merdeka Belajar Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) merupakan mata pelajaran yang memiliki ciri khas yang berbeda dari pada mata pelajaran lainnya. Karakteristik mata pelajaran PAI yakni masuknya nilai ilahiah sebagai core values dalam PBM. Aspek ilahiah ini kemudian dijabarkan pada ranah ‘aqliya (kognitif), qalbiya (afektif), dan ‘amaliya (psikomotorik) (Hidayat dan Asyafah, 2019). Konsep ‘aqliya memiliki nilai yang berbeda dengan aspek kognitif, begitu pula konsep qalbiya dan ‘amaliya berbeda dengan aspek afektif dan psikomotorik. Dalam pembelajaran PAI, ketiga ranah ini selalu terkait dengan tujuan penciptaan manusia sebagai hamba Allah dan khalīfah di bumi (Imelda, 2017). Melihat karakteristik kebijakan Merdeka Belajar yang bercirikan pada kreatifitas pendidik, kontekstualisasi materi dengan kompetensi yang dibutuhkan masyarakat dan lingkungan, kebebasan dalam desain pembelajaran, fleksibilitas desain penilaian, serta orientasi pada pemecahan masalah, penilaian otentik merupakan teknik penilaian yang tepat untuk terus dikembangkan dan diimplementasikan pada PBM.
Adapun karakteristik dari penilaian otentik adalah (1) desain pembelajaran berbasis pada pengalaman nyata; (2) penilaian dilakukan pada keseluruhan tahapan pembelajaran; (3) penilaian diukur secara menyeluruh pada keseluruhan kompetensi peserta didik; (4) penilaian dilakukan untuk menilai kebermaknaan pemahaman peserta didik bukan hanya pada hafalan (kuantitas) (Siregar, 2018). Evaluasi Pembelajaran Secara etimologis, evaluasi berasal dari bahasa Inggris, yaitu evaluation, artinya penilaian. Menurut Arikunto (2013), dari kata evaluation ini diperoleh kata Indonesia evaluasi yang berarti menilai (tetapi dilakukan pengukuran terlebih dahulu) (Arikunto, 2013). Pada kegiatan evaluasi terdapat dua langkah yang harus dilakukan terlebih dahulu yaitu mengukur dan menilai. Mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan satu ukuran, pengukuran bersifat kuantitatif. Adapun menilai adalah mengambil suatu keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik buruk, penilaian bersifat kualitatif. Sejalan dengan itu, definisi lain dijelaskan oleh Arifin dalam Asrul, Ananda, dan Rosnita (2014) bahwa evaluasi adalah suatu proses yang sistematis dan berkelanjutan untuk menentukan kualitas (nilai dan arti) daripada sesuatu, berdasar pertimbangan dan kriteria tertentu dalam rangka mengambil suatu keputusan (Asrul et, al, 2015).
Pada bidang pendidikan, evaluasi memiliki beberapa pengertian. Menurut Tyler dalam Arikunto (2012), evaluasi adalah sebuah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa, dan bagian mana tujuan pendidikan sudah tercapai (Ralph, 1950). Penjelasan lebih luas dikemukakan oleh Conbanch dan Stufflebeam dalam Arikunto (2012), bahwa proses evaluasi bukan sebatas mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi digunakan untuk membuat keputusan dalam program pembelajaran selanjutnya (Cronbach, 2009). Jadi, evaluasi pembelajaran dapat diartikan sebagai proses pengumpulan data untuk menentukan kualitas pembelajaran, mengetahui sejauh mana tujuan pendidikan sudah tercapai dalam rangka mengambil suatu keputusan untuk program pembelajaran selanjutnya.
Penerapan ketiga (Aqliyah, Qolbiyah, dan Amaliyah) konsep pendidikan tersebut dapat efektif dengan adanya evaluasi terhadap program-program pendidikan di lembaga pendidikan. Evaluasi Pembelajaran (penilaian pembelajaran) adalah proses pengumpulan informasi, pengolahan, serta analisis data untuk melihat ketercapaian hasil belajar peserta didik (Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016).
Sementara itu tujuan evaluasi pembelajaran PAI memiliki kedudukan yang vital untuk melihat ketercapaian standar kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik baik pada aspek ‘aqliya, ‘amaliya, maupun qalbiya. Maka dari itu evaluasi yang dikembangkan oleh pendidik harus mencakup ketiga ranah tersebut. Sedangkan Fungsi evaluasi pembelajaran PAI adalah (1) menilai ketercapaian standar kompetensi dan (2) sebagai bahan penunjang penyusunan perencanaan pembelajaran. Hasil penilaian digunakan untuk melihat hasil pembelajaran PAI yang telah dilakukan berdasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Evaluasi pembelajaran yang berkesinambungan dapat mempermudah pendidik maupun sekolah untuk mengembangkan model perencanaan, pelaksanaan, dan hasil belajar. Proses ini selanjutnya mampu menyempurnakan program pembelajaran PAI menjadi lebih baik (Hidayat dan Syafe’I, 2018).
Pendidikan Agama Islam Pendidikan agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, mememahami, mengimani, bertakwa, berakhalak mulia, mengamalkan ajaran agama Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Quran dan al-Hadits, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman (Ramayulis, 2005). Jadi, pembelajaran PAI adalah proses interaktif yang berlangsung antara pendidik dan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan dan meyakini, menghayati dan mengamalkan ajaran agama Islam.
Dalam pelaksanaan kegiatan pembelajaran pendidik tidak saja dituntut menguasai materi pelajaran, strategi, dan metode mengajar, menggunakan media atau alat pembelajaran.Tetapi pendidik juga harus menciptakan situasi dan kondisi belajar mengajar bisa berjalan dengan baik sesuai perencanaan dan mencapai tujuan sesuai yang dikehendaki.
Dalam proses pembelajaran pendidik mempunyai peran yang sangat penting dalam menentukan kualitas pembelajaran yang dilaksanakan, pendidik harus selalu menciptakan suasana yang kondusif dalam lingkungan pendidikan dan menjalankan tugasnya di dalam kelas dengan maksimal sehingga tercapai pembelajaran yang efektif.
PAI dibangun oleh dua makna esesnsial yakni “pendidikan” dan “agama Islam”. Salah satu pengertian pendidikan menurut Plato adalah mengembangkan potensi siswa, sehingga moral dan intelektual mereka berkembang sehingga menemukan kebenaran sejati, dan guru menempati posisi penting dalam memotivasi dan menciptakan lingkungannya (Fathoni, 2010). Dalam etiknya Aristoteles, pendidikan diartikan mendidik manusia untuk memiliki sikap yang pantas dalam segala perbuatan (Bunyamin, 2007).
Kesimpulan
Pada era merdeka belajar mencakup kondisi merdeka dalam mencapai tujuan, metode, materi, dan evaluasi pembelajaran. Kegiatan evaluasi inilah yang menjadikan guru berperan sebagai perantara untuk mewujudkan tujuan pendidikan di era merdeka belajar. Guru harus memahami tujuan dan fungsi evaluasi pembelajaran. Selain itu, Guru diharapkan mampu mewujudkan pembelajaran yang nyaman, menyenangkan, dan menarik, sehingga kegiatan evaluasi pun berfungsi sebagaimana mestinya. Realitanya, terdapat guru yang tidak memperdulikan hal tersebut. Pada pembelajaran yang terpenting guru masuk kelas, mengajar, melakukan evaluasi yang monoton, mengutamakan pada nilai akhir, melaksanakan waktu evaluasi sesuai atas kemauan dan kemudahan guru tanpa memperdulikan konsep dasar evaluasi untuk tujuan pendidikan. Anggapan guru yang terpenting pada akhir semester ia telah mencapai target kurikulum. Hal tersebut menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara evaluasi pembelajaran dengan tujuan pendidikan di era merdeka belajar.
Kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim, mengenai Merdeka Belajar meliputi (1) ujian sekolah berstandar nasional (USBN) dikembangkan oleh sekolah masing-masing; (2) Ujian nasional (UN) berubah menjadi asesmen kompetensi minimum dan survei karakter; (3) kebebasan pendidik untuk mendesain rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP); dan (4) fleksibilitas dalam peraturan penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB). Kebijakan Merdeka Belajar Nadiem Makarim ini layak untuk diapresiasi, terlebih dengan latar belakang Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang bukan dari kalangan dunia pendidikan mampu memberikan gebrakan kebijakan yang dirasakan berbagai kalangan mampu membawa kemajuan pendidikan Indonesia.
REFERENSI
Arifin, Syamsul dan Muslim, Moh. (2020). Tantangan Implementasi Kebijakan ‗Merdeka Belajar, Kampus Merdeka‘ pada Perguruan Tinggi Islam Swasta di Indonesia,‖ Jurnal Pendidikan Islam Al-Ilmi 3, no. 1 (Juni): 4. Https://doi.org/10.32529/al-ilmi.v3i1.589.
Arikunto, S. (2013). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi Revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asrul, et, al. (2015). Evaluasi Pembelajaran. Bandung:Cita Pustaka Media. Bunyamin, Maftuh. (2007). Model Pembelajaran Pendidikan Nilai. Bandung:CV Maulana.
Fathoni, Abdurrahmat. (2010). Organisasi dan Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Cronbach, Sufflebeam, Daniel and Anthony J. Shinkfield. (2009). Evaluation Theory, Models, and Applications. San Francisco: A Wiley Imprint.
Hidayat, Tatang dan Asyafah, Abas. (2019). Konsep Dasar Evaluasi dan Implikasinya dalam Evaluasi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah,‖ Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 10, no. 1.
Imelda, Ade. (2017). Implementasi Pendidikan Nilai dalam Pendidikan Agama Islam,‖ Al-Tadzkiyyah: Jurnal Pendidikan Islam 8, no. 2: 228. Https://doi.org/10.24042/atjpi.v8i2.2128.
Moleong, Lexy J. (2002). Metodologi Penelitian Kualitatif. Kemendikbud dan Mohammad Tohir, ―Empat Pokok Kebijakan Merdeka Belajar,‖ Preprint (Open Science Framework) (15 Desember 2019). Https://doi.org/10.31219/osf.io/67rcq.
Nasr, Sayyed Hossein. (1994). Traditional Islam in The Modern World, Terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka).
Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2016 Tentang Standar Penilaian Pendidikan.
Prof. Dr. Ramayulis, (2005). Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta, Kalam Mulia, hlm. 21.
- Y. Tan, et al., (2018). Rethinking Our Education to Face the New Industry Era,‖ in Proceedings of EDULEARN 18 Conference 2nd-4th July 2018 (Palma, Mallorca, Spain): 65–66.
Syailendra, Persada. (2019). Nadiem Makarim: Merdeka Belajar adalah Kemerdekaan Berpikir, Tempo, 13 Desember 2019, dalam https://nasional.tempo.co/read/1283493/nadiem-makarimmerdeka-belajaradalah-kemerdekaan-berpikir.
Siregar, Lailan Aprina, (2018). Penilaian Otentik dalam Kurikulum 2013,‖ Al-Razi 18, no. 2 (Desember 2018): 1–11.
Tyler, Ralph. (1950). Models Of Teaching. New Jersey: PrenticeHall, Inc. Englewood Cliffs T.
Hidayat dan M. Syafe‘i, (2018). Filsafat Perencanaan dan Implikasinya dalam Perencanaan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah,‖ Lentera Pendidikan: Jurnal Ilmu Tarbiyah dan Keguruan 21, no. 2: 188–205.
https://pdfs.semanticscholar.org/ac2b/ef3b63618238040d622888a7df1d5ebfb75e.pdf