Adiyanto (Wartawan Media Indonesia)
‘HARI-HARI kita berisi hasutan, hingga kita tak tahu diri sendiri’. Begitu Iwan Fals bersenandung pada lagu Mimpi yang Terbeli. Lagu yang terdapat di album 1910 itu dirilis pada 1988, atau 35 tahun silam. Lagu itu merupakan ungkapan kegelisahan Iwan akan gejala konsumerisme di masyarakat. Aneka rupa barang ditawarkan, baik di mal maupun supermarket. Acara Mana Suka Siaran Niaga di TVRI, satu-satunya stasiun televisi milik pemerintah yang beroperasi kala itu, menjadi salah satu etalasenya. Di tengah segala bujuk rayu tersebut, kata Iwan di lagu itu, seorang anak tergoda mencuri mainan yang harganya tak terjangkau oleh bapaknya yang maling.
Setelah lebih dari dua dekade, entah apa yang dirasakan Iwan melihat fenomena sekarang. Mesin propaganda pariwara itu kini ada di mana-mana, bahkan menyelinap dalam genggaman. Ia tidak lagi merayu secara visual, tapi juga menggoda sisi emosional. Melalui teknologi algoritma yang digerakkan dalam sistem jaringan, sel-sel otak dan perasaan kita, baik mereka yang tinggal di kota maupun desa, distimulasi untuk terus mengonsumsi lagi dan lagi sampai mati. Bukan cuma barang, melainkan juga kesenangan.
Berbagai platform aplikasi, mulai media sosial hingga lokapasar digital, menjadi mesin penggerak yang secara tak sadar menggiring kita menjadi pemburu pleasure, pemuja kesenangan. Boleh percaya atau tidak, gaya hidup itu pun ditopang media komunikasi dan informasi. Atas nama data yang mudah direkayasa, para editor penganut viralisme lebih senang membuat judul-judul yang menawarkan hedonisme; ‘Inilah 10 Tempat Hangout yang sedang Hype’, atau ‘Inilah Lima Barang Branded yang Paling Disenangi Selebritas’, ketimbang mengkritisi sejumlah pasal bermasalah dalam omnibus law, misalnya.
Entah generasi entah masyarakat macam apa yang mau dihasilkan dari kebodohan yang dirasionalisasi teknologi semacam ini. Kaum cerdas cendekia yang semestinya memberi edukasi malah ikut-ikutan naif, jika tidak mau disebut dungu. Bahkan, konon kabarnya juga ada sebuah dewan mahasiswa pada institusi pendidikan yang diduga menyuruh mahasiswa baru mendaftar pinjaman online. Untuk apa? Buat biaya outfit untuk datang ke kampus? Dari mana mahasiswa, yang notabene belum punya penghasilan, memiliki dana untuk melunasinya? Merampok dan membunuh temannya? Edan.
Menurut Manuel Castells, sosiolog dan pemikir Spanyol, berbeda dengan era kapitalisne awal yang hanya digerakkan modal/kapital, kekuatan teknologi komunikasi dan informasi (ilmu pengetahuan) juga menjadi salah satu pelumas yang melancarkan kerja mesin kapitalisme lewat gaya hidup baru yang dihasilkan. Tujuannya tentu untuk kepentingan ekonomi, dan itu sah-sah saja. Yang perlu kita sikapi dengan bijak ialah bagaimana mengantisipasi ekses negatifnya.
Keprihatinan Iwan melihat seorang anak kecil mencuri mainan yang harganya tak terjangkau seperti judul lagu yang saya kutip di atas rasanya mungkin tidak seberapa jika dibandingkan dengan kelakuan anak seorang pegawai pajak yang belum lama ini viral atau aksi nekat seorang mahasiswa sebuah universitas ternama yang membunuh temannya lantaran diduga terjerat oleh pinjaman online. Iwan benar, hidup kita memang berisi hasutan. Malah, menurut saya. kini semakin edan dan gila-gilaan. Waspadalah.
SUMBER
https://mediaindonesia.com/opini/604403/rayuan-online