Desy Wulandari
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia-Indonesia
Email: desy.wulandari@ui.ac.id
PENDAHULUAN
Indonesia sebagai negara kepulauan dengan lebih dari 17.000 pulau diakui atas keanekaragaman budayanya. Setiap wilayah mempunyai ciri khas budaya sebagai cermin sejarah, adat istiadat, dan sistem nilai yang dihormati masyarakatnya. Namun, arus modernisasi cenderung membuat praktik budaya seperti musik tradisional, memasak dengan periuk, dan permainan tradisional anak-anak dianggap ketinggalan zaman (Rustan & Munawir, 2020). Akhirnya kebudayaan disadari ataupun tidak, direduksi hingga hanya menyisakan bentukbentuk komersial dari ekspresi budaya. Misalnya, di beberapa daerah tarian tradisional yang memiliki makna sakral diubah men jadi pertunjukan komersial yang lebih mengutamakan hiburan daripada nilai-nilai budayanya. Gejala tersebut berkaitan dengan pergeseran pola pikir masyarakat yang semakin mengedepankan pragmatisme sehingga mengaburkan esensi budaya lokal. Menuru t Koent jaraningrat (2011) , kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar. Oleh karena itu, hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan. Kebudayaan tidak hanya terbatas pada manifestasi estetis seperti tarian dan lagu, melainkan juga mencakup inti dan warisan intelektual suatu bangsa.
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan mendefinisikan kebudayaan sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Cakupan tersebut digunakan dalam tulisan ini dengan melihat kebudayaan dari sepuluh Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK) yang meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional. Representasi obyek pemajuan kebudayaan yang luas akan terlihat dari perspektif potensi budaya dalam satuan susunan pemerintahan terkecil yaitu desa. Desa bukan hanya penting sebagai entitas administratif tetapi juga sebagai akar dari peradaban bangsa (Geertz, 1963). Secara administrasi, desa berperan dalam upaya pelestarian warisan budaya. Undang-Undang Nomor 6 Pasal 4 Tahun 2014 tentang Desa menyatakan bahwa salah satu tu juan pengaturan desa adalah untuk melestarikan dan mema jukan adat, tradi si , dan budaya masyarakat desa. Regulasi ini mengadvokasi pemberdayaan masyarakat desa dalam upaya mengembangkan kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan pengetahuan, sikap, keterampilan, perilaku, kemampuan, kesadaran, serta memanfaatkan sumber daya melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan pendampingan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat desa.
Meskipun program pemberdayaan masyarakat berbasis desa telah banyak dilaksanakan, sebagian besar program lebih terkonsentrasi pada pengembangan infrastruktur dan ekonomi tanpa adanya identifikasi permasalahan atau potensi lokal prakegiatan. Bryant & White (2002) menekankan bahwa pembangunan bukan hanya persoalan material tetapi juga melibatkan teknik transformasi dan proses produksi pengetahuan. Penelitian Arifah dan Kusumastuti (2018) menunjukkan kesuk-sesan pembangunan mandiri di Desa Kemadang, Gunungkidul, karena melibatkan pemetaan potensi desa dan pengelolaan tata kelola yang efisien. Sementara itu, Nurcahyani (2018) menggambarkan pengaruh positif strategi inovatif dalam pengembangan tenun ikat di Sintang yang tidak hanya merangsang ekonomi lokal tetapi juga melestarikan budaya. Kedua studi ini mendukung pentingnya pendeka tan holi stik dalam pembangunan desa. Kegagalan proyek pembangunan salah satunya terjadi akibat teknikalisasi permasalahan, yaitu upaya mereduksi persoalanpersoalan menjadi sehimpunan variabel yang mudah dipahami, terukur, dan secara teknis dapat direkayasa (Murray, 2007).
Mereduksi persoalan berarti mengabaikan kompleksitas lokal yang dapat memberikan celah antara pembangunan dan realitas desa. Kegagalan memahami dengan baik nilai-nilai budaya lokal menyebabkan terjadinya kegagalan pembangunan. Sulistyaningsih, Muryanti, Saputro, & Nisa (2022) menyoroti dampak negatif program yang tidak mempertimbangkan aspek sosial, psikis, dan budaya. Sementara penelitian Hamid dan Meilinda (2023) menunjukkan bagaimana pendekatan yang mengabaikan pengetahuan lokal dapat berakhir dengan alienasi masyarakat. Keadaan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan pengelolaan pembangunan terletak pada bagaimana perencanaan pembangunan dilakukan secara partisipatif (Saputra, Aisyah, & Darmanto, 2021) Konsep pembangunan mulai muncul di awal abad ke-20 sebagai jawaban atas masalah kemiskinan pascakolonial (Rist, 2007). Selama periode 1950-1980 paradigma pembangunan lebih didominasi oleh prioritas pertumbuhan ekonomi dan modernisasi, sementara aspek sosial kurang mendapatkan perhatian. Namun, akhir 1980-an terjadi evolusi dalam paradigma pembangunan dengan munculnya isu keberlanjutan dan pengakuan terhadap pentingnya aspek sosial dan lingkungan.
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi peralihan dari pendekatan pembangunan top-down ke pendekatan yang lebih partisipatif (Chambers, 1994). Metode partisipatif memprioritaskan keterlibatan aktif masyarakat lokal di setiap langkah perencanaan dan implementasi proyek pembangunan, serta memastikan bahwa proses tersebut tidak hanya inklusif tetapi juga sensitif terhadap konteks kebudayaan setempat. Kebudayaan mempunyai dua peran dalam pembangunan, yaitu sebagai warisan dan penggerak pembangunan. Pemahaman kebudayaan lokal memberikan dasar yang kokoh dan inisiatif pembangunan yang selaras dengan nilai dan harapan masyarakat. Kebudayaan juga bertindak sebagai simbol identitas yang mampu menguatkan rasa keterikatan masyarakat terhadap hasil-hasil pembangunan. Oleh karena itu, kebudayaan sebagai infrastruktur nonfisik harus ditempatkan sejajar dengan pembangunan infrastruktur fisik mengingat keduanya memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan nasional. Kebudayaan tradisional merupakan pilar pembangunan (Minggu, 2022). Pembangunan yang berakar pada kebudayaan akan merangsang pertumbuhan pribadi dan peningkatan kapasitas komunal. Integrasi program pemberdayaan dengan warisan budaya nasional merupakan strategi esensial untuk Indonesia. Keberhasilan pembangunan tergantung pada partisipasi aktif setiap individu, bukan hanya hasil kerja sekelompok orang. Oleh karena i tu , semua warga adalah agen pembangunan yang memiliki kebebasan.
Penelitian tentang program pemberdayaan masyarakat menyoroti pentingnya aspek lokalitas. Studi yang dilakukan oleh Hukmiah (2020), Wahyuningsih & Pradana (2021), Astiana, Kartika, & Tawakal (2022), dan Putri & Tri Suminar (2023), Xinxin, Bohua, Yindi, Hongri, & Peilin (2022), Tondo (2023), Afad (2023), serta Sabaggalet (2023) menunjukkan bahwa pemberdayaan yang berakar pada komunitas lokal dan pelestarian budaya tidak hanya memperkuat identitas lokal tetapi juga mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Hasil penelitian tersebut menggarisbawahi pentingnya memahami dan mengaplikasikan dinamika sosial serta budaya lokal dalam pembangunan sejalan dengan prinsip pemberdayaan berbasis budaya. Efektivitas program pembangunan desa di masa depan akan bergantung pada kerja sama dan dukungan berkelanjutan dari berbagai pihak. Keterlibatan berbagai pihak akan membuka peluang bagi setiap individu untuk berkontribusi dalam pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat berbasis budaya mampu menjawab urgensi pelindungan budaya dalam konteks pelestarian lingkungan dan sumber daya alam. Sebagai contoh konkret, Suku Baduy, dengan pengetahuan tradisional mereka, berkontribusi langsung pada konservasi hutan dan keanekaragaman hayati. Penelitian Asteria et al. (2022) mengungkap bahwa suku Baduy memegang teguh adat dan budaya mereka yang disebut pikukuh. Pikukuh ini mencakup konsep pengelolaan hutan yang berkelanjutan di mana masyarakat setempat terlibat langsung dalam pengelolaan hutan. Prinsip-prinsip ini tidak hanya meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga menjamin keberlanjutan hutan dan keanekaragaman hayati di wilayah Baduy. Kehadiran pikukuh dan pengetahuan tradisional lainnya membuktikan bahwa adat istiadat dan budaya lokal seringkali memiliki solusi untuk tantangan lingkungan kontemporer. Di sisi lain, penelitian Purna (2016) di Desa Mbawa menunjukkan betapa kearifan lokal dapat menjadi kunci dalam menjaga kerukunan dan toleransi beragama. Penelitian tersebut membuktikan bahwa kearifan lokal tidak hanya memperkaya kebudayaan tetapi juga berperan penting dalam mewujudkan harmoni sosial dan keberagaman.
Dari berbagai literatur di atas diperoleh pemahaman bahwa kebudayaan lokal memegang peran penting sebagai landasan pemberdayaan. Telah banyak penelitian yang secara khusus mengkaji efektivitas program pemberdayaan dengan basis budaya. Demikian pula dengan penelitan yang mengambil fokus ke satu desa untuk melihat keberhasilan suatu program pemberdayaan. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan dukungan data-data kuantitatif untuk menjangkau lebih banyak desa sasaran program pemberdayaan. Sebagai inisiatif yang berakar pada kebudayaan lokal, Program PKD menawarkan pendekatan inovatif yang dapat meminimalisir potensi penyederhanaan kompleksitas realita di lapangan. Terdapat kemungkinan bahwa berjalannya program tidak sepenuhnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan masyarakat lokal. Dalam memahami dinamika ini, penelitian ini menggunakan satu pertanyaan kunci, yaitu apakah Program PKD mampu meningkatkan perlindungan budaya tradisional dan memberikan ruang terhadap komunitas untuk mengembangkan dan mengekspresikan budayanya sebagai modal pemberdayaan masyarakat. Pertanyaan tersebut kemudian diturunkan menjadi tiga pertanyaan, sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi kebudayaan desa sebelum pelaksanaan Program PKD? 2. Bagaimana perubahan kebudayaan desa setelah pelaksanaan Program PKD? 3. Apa harapan masyarakat desa terhadap Program PKD? Dengan demikian, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas Program PKD.
dalam meningkatkan perlindungan budaya tradisional dan memberikan ruang kepada komunitas untuk mengembangkan dan mengekspresikan budayanya agar bisa dimanfaatkan sebagai modal pemberdayaan masyarakat. METODE Untuk memahami implementasi program PKD, penelitian ini mengadopsi pendekatan kualitatif dengan dukungan data-data kuantitatif. Metode ini dipilih karena terdapat keterbatasan untuk melakukan pengamatan langsung secara menyeluruh terhadap desa pemajuan kebudayaan yang tersebar di Indonesia. Penggunaan metode tersebut dapat menjangkau lebih banyak desa yang menjadi sasaran program, juga mendapatkan data objektif yang dapat diukur untuk menilai efektivitas dan dampak program. Populasi dari penelitian ini adalah para Pendamping Kebudayaan Desa (Daya Desa) yang berasal dari total 235 Desa Pemajuan Kebudayaan. Daya Desa merupakan individu lokal berasal dari desa itu sendiri dan dipilih sebagai responden karena mereka merupakan individu yang dipilih oleh masyarakat sebagai penggerak desa. Daya Desa bersama masyarakat melakukan tahapan temukenali potensi, pengembangan, dan pemanfaatan potensi budaya, sehingga dianggap mengetahui kondisi desa secara keseluruhan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 147 melalui proses acak sederhana. Desa-desa yang menjadi sampel dipilih secara random dari populasi yang dijadikan acuan. Penelitian dilaksanakan pada Januari-Februari 2023. Data dikumpulkan melalui kuesioner yang didistribusikan secara daring menggunakan Google form. Kuesioner terdiri dari serangkaian pertanyaan terbuka yang dirancang untuk mendapatkan persepsi, pengalaman, dan tanggapan dari Daya Desa terkait implementasi dan dampak program. Setelah data dikumpulkan, dilakukan analisis secara deskriptif. Proses ini melibatkan identifikasi tema atau pola yang muncul dari respons kuesioner. Hasilnya dikelompokkan untuk mendapatkan gambaran umum sejauh mana Program PKD berdampak terhadap perbaikan kondisi OPK dan bagaimana OPK dimanfaatkan sebagai modal pemberdayaan masyarakat. HASIL DAN PEMBAHASAN Program PKD mulai diselenggarakan pada tahun 2021 dengan merujuk pada Buku Pedoman Pemberdayaan Masyarakat Pemajuan Kebudayaan Desa. Sesuai dengan pedoman tersebut, implementasi program didasarkan pada lima nilai inti, yaitu inklusif, praktis, partisipatif, kemandirian, serta penjaminan keberlanjutan. Pelaksanaan Program PKD dilaksanakan dengan tiga tahapan, seperti terlihat pada Gambar 1. Tahun 2021 merupakan tahap temukenali. Masyarakat desa diajak untuk mengidentifikasi potensi budaya yang dimiliki dari perspektif masyarakat desa tersebut sebagai pemegang hak atas kebudayaan lokal. Tahun 2022 merupakan tahap pengembangan. Penentuan langkah-langkah pengembangan dan pemanfaatan kebudayaan oleh masyarakat dilakukan melalui serangkaian lokakarya. Hal ini dilakukan untuk menghasilkan rencana aksi, peningkatan kapasitas sumber daya manusia, dan penguatan jaringan komunitas.
Tahun 2023 tahapan pemanfaatan, yaitu pelaksanaan rencana aksi yang sudah disusun pada tahun sebelumnya oleh masyarakat desa. Tahapan ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan kebudayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Pelaksanaan rencana aksi dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti festival budaya, pengembangan wisata desa, produksi, dan pemasaran produk budaya, serta pemanfaatan platform E-commerce. Secara konseptual program ini mampu menjawab kritik paradigma pembangunan yang sering kali mengabaikan kearifan lokal dan memberikan solusi yang tidak sesuai dengan konteks sosial dan budaya setempat dengan menga jukan konsep pembangunan alternatif yang lebih inklusif dan partisipatif. Kondisi Desa Pemajuan Kebudayaan Sebelum Pelaksanaan Program PKD Desa yang berpartisipasi dalam program pemajuan kebudayaan dipilih berdasarkan beberapa kriteria tertentu. Kriteria tersebut meliputi desa yang terletak di dekat kawasan cagar budaya nasional atau yang memiliki Warisan Budaya Takbenda (WBTb) yang telah ditetapkan, desa di sekitar titik jalur rempah, Balai Besar Taman Nasional, desa tertinggalberkembang (Kemendes PDTT), desa yang termasuk dalam kawasan prioritas nasional, dan desa yang kabupaten atau kotanya telah menyusun Pokok-Pokok Kebudayaan Daerah (PPKD). Desa yang termasuk kriteria tersebut diusulkan oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kemendikbudristek yang selanjutnya diseleksi oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan. Terdapat 147 desa pemajuan kebudayaan yang terlibat dalam penelitian ini. Dari 147 desa pemajuan kebudayaan yang memberikan jawaban tentang bagaimana permasalahan desa terkait kebudayaan sebelum pelaksanaan Program PKD, diperoleh gambaran seperti Gambar 2. Gambaran tersebut diperoleh dari satu pertanyaan terbuka tentang kondisi atau permasalahan desa sebelum pelaksanaan Program PKD. Dari 147 uraian yang diperoleh, kemudian dikelompokkan berdasarkan kategori permasalahan. Dari pengkategorian tersebut, permasalahan utama yang dihadapi desa adalah rendahnya kesadaran akan kepemilikan budaya, yaitu segala sesuatu yang mencakup cipta, rasa, karsa, dan hasil karya masyarakat. Hal ini ditunjukkan dengan sebanyak 65 desa (44%) menyuarakan masalah ini. Contoh konkret kurangnya kesadaran masyarakat tentang budaya adalah uraian beberapa desa dalam menjawab kuesioner.
Desa Leboni yang menjelaskan bahwa sebagian besar tradisi budayanya hampir terlupakan; Desa Ketambe mencata t rendahnya tingkat kepedulian terhadap warisan budaya; dan Desa Manyarejo mengungkapkan warga masyarakat kurang begitu memahami potensi budaya yang ada di wilayahnya. Kondisi di atas menunjukkan masih terdapat kendala dalam upaya pelindungan kebudayaan seperti yang diamanatkan oleh Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan khususnya dalam hal menjaga keberlangsungan warisan budaya. Hal tersebut dapat menghambat proses inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi kebudayaan lokal. Padahal, upaya perlindungan terhadap ekspresi budaya tradisional tentunya akan mendorong peningkatan perekonomian Indonesia dan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat (Wedhitami & Santosa, 2014). Permasalahan tentang pelindungan juga diperkuat dengan temuan sebanyak 19 desa (13%) yang menyatakan regenerasi tradisi masih rendah. Desa Sijunjung mencatat bahwa walaupun sebagian potensi budaya masih lestari dan dipraktikkan oleh generasi tua, banyak generasi muda yang belum memahami atau bahkan tidak mengenal kebudayaannya. Sementara itu, Desa Segaran menyoroti kurangnya pengetahuan generasi sekarang dalam berbagai aspek kebudayaan tradisional seperti permainan, olahraga, seni, dan kuliner. Kurangnya minat dari generasi muda untuk mempelajari dan mengapresiasi kebudayaan tradisional disertai dengan persepsi bahwa budaya lokal tidak lagi relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kondisi ini menunjukkan adanya pemisah antara generasi tua yang berusaha mempertahankan kebudayaan lokal dengan generasi muda yang kurang tertarik untuk meneruskan warisan tersebut. Keprihatinan terhadap mulai banyaknya kebudayaan yang ditinggalkan dinyatakan oleh 28 desa (19%). Fenomena ini dapat diartikan sebagai dampak adaptasi masyarakat terhadap perubahan zaman dan gaya hidup modern. Hal ini menyebabkan beberapa elemen kebudayaan tradisional dianggap kurang relevan atau sulit untuk dipertahankan. Sebagai contoh, Desa Kandangan dan Desa Bumiarjo mencatat bahwa berbagai bentuk kesenian dan permainan tradisional kini mulai ditinggalkan. Sementara itu Desa Tutulo mengungkapkan bahwa terdapat beberapa praktik budaya yang kini tidak lagi diizinkan dilakukan karena dianggap mengandung unsur SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Fenomena di atas menandakan adanya benturan antara nilai-nilai kebudayaan tradisional dengan nilai-nilai agama. Artinya, tantangan pelestarian kebudayaan memerlukan pemahaman dan penyesuaian terhadap konteks sosial dan budaya masyarakat saat ini.
Dengan demikian, kebudayaan tradisional tetap dapat dilestarikan tanpa bertentangan dengan nilainilai lain yang dipegang oleh masyarakat. Ruang ekspresi sebagai tempat kebudayaan dicurahkan terkadang luput dari perhatian. Kurangnya ruang ekspresi budaya menjadi catatan dengan 14 desa (10%) menyoroti hal ini. Ruang ekspresi budaya yang tidak memadai terjadi karena tidak ada fasilitas ataupun mekanisme perizinan yang rumit dan tidak tersosialisasikan dengan baik dari pemerintah setempat. Dukungan dari pemerintah desa juga menjadi masalah krusial. Meskipun tidak menjadi tantangan utama, 13 desa (9%) merasa kurangnya dukungan dari pemerintah desa. Dukungan ini bisa berupa fasilitas, pendanaan, atau bahkan kebijakan yang mendukung pelestarian kebudayaan. Menurut Karmila dan Rochani (2020), keberadaan ruang publik seperti taman, dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin dengan nilai guna yang sebesar-besarnya, yang juga berlaku dalam konteks ekspresi budaya. Beberapa desa juga menyoroti tantangan lainnya seperti kon flik internal terkait kebudayaan sebanyak 4 desa (3%), kurangnya jaringan pemasaran untuk produk kerajinan desa sejumlah 3 desa (2%), dan kepunahan rumah tradisional sejumlahnya 1 desa (1%). Meskipun hanya satu desa yang mempunyai permasalahan kepunahan rumah tradisional, isu ini seharusnya mendapatkan perhatian karena rumah tradisional merupakan hasil dari kearifan lokal dalam beradaptasi dengan lingkungan alamnya (Rostiyati, 2017).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, temuan ini menunjukkan bahwa masih terdapat urgensitas dalam implementasi kebijakan pada aspek pelindungan kebudayaan. Pelindungan kebudayaan mencakup upaya menjaga keberlanjutan warisan budaya yang melibatkan proses inventarisasi, pengamanan, pemeliharaan, penyelamatan, dan publikasi. Kondisi Desa Pemajuan Kebudayaan Setelah Pelaksanaan Program PKD Tahap temukenali yang dilaksanakan pada tahun 2021 menghasilkan identifikasi dan pemahaman terhadap desa. Dari website resmi PKD tahapan ini berhasil mendata sejumlah 4.848 potensi budaya dari 355 desa. Potensi tersebut meliputi 10 OPK dan Cagar Budaya (CB)/Objek Diduga Cagar Budaya (ODCB).
Setelah menyelesaikan tahapan temukenali, program berlanjut ke tahapan pengembangan di tahun 2022. Pada tahap ini, ruang diskusi dibentuk untuk memperkuat narasi potensi desa dan mengidentifikasi solusi atas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Hasil dari diskusi ini direpresentasikan dalam bentuk peta partisipasi yang merangkum narasi dan argumen tentang potensi budaya desa, termasuk aspek manusia, bangunan, dan lingkungan alam. Proses ini membantu masyarakat memetakan ekosistem budaya desa yang digunakan sebagai dasar dalam forum lokakarya. Forum bertujuan untuk meningkatkan kapasitas individu pelaku budaya dan organisasi ekonomi budaya, serta menyediakan pelatihan dalam perancangan dan uji coba produksi budaya. Penelitian ini dilaksanakan pada awal tahun 2023, yang seharusnya tahapan pengembangan telah selesai dilaksanakan. Asumsinya melalui pelaksanaan tahapan pengembangan yang sesuai prosedur pedoman, berbagai permasalahan kebudayaan sudah dapat diatasi. Bagaimana Program PKD mengatasi permasalahan kebudayaan di desa dapat dilihat dalam Gambar 3. Gambaran mengenai kondisi desa diperoleh dari pertanyaan terbuka mengenai solusi atau perubahan kondisi setelah pelaksanaan Program PKD. Dari 147 desa, sebanyak 9 desa (6%) memberikan konfirmasi bahwa program berperan dalam menghidupkan kembali budaya yang telah mati suri. Meskipun jumlahnya terlihat kecil, dampak yang dihasilkan sangat signifikan dalam konteks pelestarian budaya. Salah satu contoh konkret keberhasilan pelaksanaan Program PKD tercermin dari jawaban Desa Manyarejo yang mampu menghidupkan kembali seni pertunjukan gambus, sebuah bentuk kesenian yang telah mati suri selama 40 tahun.
Instrumen musik gambus yang terbuat dari bambu dan dimainkan dengan cara dipetik kini kembali bergema di Desa Manyarejo. Keberhasilan terwujud atas upaya kolektif dalam mengumpulkan ingatan dan pengetahuan dari para sesepuh desa. Program pemajuan kebudayaan telah berhasil berkontribusi secara signifikan dalam menciptakan dan memperkuat jejaring kebudayaan di antara masyarakat desa, sebagaimana respons dari 14 desa (10%). Pelaksanaan program berperan dalam memunculkan adanya kerja sama dan komunikasi antarkomunitas desa. Sebagai contoh, Desa Iluta telah berhasil memperkenalkan kerajinan tradisional sulaman tangan yang dikenal sebagai kerawang ke luar desa. Kemajuan tersebut membuktikan bahwa Program PKD membuka peluang masyarakat desa untuk memperkenalkan dan mempromosikan warisan budaya lokal. Selain itu, pembentukan Sanggar Mahligai Stupa di Desa Muara Takus menjadi wadah bagi masyarakat untuk berkumpul, belajar, dan melestarikan budaya lokal, sekaligus memperkuat jejaring kebudayaan di tingkat desa. Program PKD juga telah mendorong terciptanya kolaborasi lintas stakeholder dalam upaya penguatan kebudayaan. Peningkatan kolaborasi menunjukkan bahwa Program PKD tidak hanya fokus pada aspek pelestarian budaya, tetapi juga berupaya membangun sinergi antara berbagai pihak yang terlibat dalam proses pelestarian dan pengembangan kebudayaan di tingkat lokal. Keberhasilan program dalam mendokumentasikan potensi budaya desa, sebagaimana diungkapkan oleh 12 desa (8%) menjadi langkah maju dalam upaya pelestarian kebudayaan lokal.
Dokumentasi budaya sangat penting untuk menjaga keberlanjutan budaya, pendidikan, pengembangan sosial dan ekonomi masyarakat (Yektiningtyas, 2023). Dalam konteks pendokumentasian potensi budaya, Desa Nagari Sijunjung telah melakukan inisiatif yang patut diapresiasi dengan menyusun buku potensi kebudayaan desa. Penyusunan buku merupakan langkah konkret dalam melestarikan warisan budaya dan memastikan bahwa pengetahuan tentang budaya lokal dapat diakses dan dipahami oleh generasi yang akan datang. Sementara itu, Desa Kaliploso, Desa Gumeng, dan Desa Purwomartani juga menyatakan bahwa Program PKD telah membantu identifikasi dan dokumentasi kebudayaan desa mereka. Peningkatan kesadaran generasi muda terhadap pentingnya pelestarian kebudayaan yang diakui oleh 16 desa (11%) mengindikasikan Program PKD telah berkontribusi dalam membangkitkan minat dan partisipasi generasi muda dalam upaya pelestarian budaya. Pemuda sebagai generasi penerus bangsa selalu menjadi aktor kunci dalam perubahan masyarakat dan menjadi penjaga kelestarian nilai-nilai luhur masyarakat (Lestari, 2015). Progres ini menjadi langkah positi f bahwa warisan budaya dilestarikan oleh generasi yang akan datang. Di Desa Palipi Soreang, program telah mendorong adanya pengkaderan berupa proses pembinaan generasi muda untuk menjadi pemangku kepentingan aktif dalam pelestarian kebudayaan. Sementara itu, di desa-desa lain seperti Desa Teluk Tamiang, Desa Karanganyar, dan Desa Pangelak telah terjadi peningkatan keterlibatan generasi muda dalam kegiatan kebudayaan lokal. Desa Simanindo memberikan contoh konkret di mana anak-anak dan remaja mulai banyak yang aktif di sanggar-sanggar kesenian. Program PKD telah berkontribusi terhadap pembentukan ruang ekspresi budaya yang dibuktikan oleh 12 desa (8%).
Ruang ekspresi budaya berfungsi sebagai tempat di mana masyarakat dapat mengekspresikan, merayakan, dan mempertahankan budaya mereka, serta memberikan peluang bagi generasi muda untuk terlibat aktif dalam kebudayaan lokal. Di Desa Pringgasela, kolaborasi antara generasi muda, daya desa, dan daya warga telah diimplementasikan melalui berbagai kegiatan seperti pameran, lomba kreasi tenun, festival, workshop, diskusi, dan pembentukan museum budaya, yang semuanya dikumpulkan dalam Ruang Budaya dan Sentra Tenun Tradisional Gedogan Khas Desa Pringgasela. Inisiatif ini tidak hanya membantu pelestarian kebudayaan tetapi juga memberikan nilai ekonomi terhadap masyarakat. Desa Margalaksana menunjukkan munculnya festival dan kebangkitan kembali sanggar seni. Sanggar tersebut menjadi ruang bagi masyarakat untuk berkumpul, belajar, dan mempraktikkan kebudayaan mereka. Sementara di Desa Kemingking dalam pembentukan sanggar menjadi tempat pertemuan bagi pemuda desa, sehingga memungkinkan mereka terlibat dalam aktivitas kebudayaan. Dampak positif Progam PKD juga tercermin dari peningkatan kepedulian pemerintah desa terhadap upaya pelestarian budaya. Sebanyak 19 desa (13%) mengungkapkan bahwa mereka merasakan adanya peningkatan dukungan dan komitmen dari pemerintah desa dalam menjaga dan mengembangkan kebudayaan lokal.
Desa Teluk Kuali menyatakan bahwa saat ini mereka telah mempunyai sebuah kegiatan budaya berskala nasional dengan dukungan penuh dari Dinas Pemuda Olahraga dan Pariwisata Kabupaten Tebo. Hal ini menunjukkan adanya perubahan paradigma dan peningkatan komitmen dari pemerintah desa terhadap pelestarian kebudayaan. Di Desa Pedalaman, program telah mendorong inklusi peraturan desa pemajuan kebudayaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belan ja Desa. Hal ini menandakan adanya upaya formal dan berkelanjutan dalam mendukung kebudayaan desa dan tentunya akan berpengaruh pada tingkat keberhasilan program. Keterlibatan pemerintah dalam mendukung kebudayaan sejalan dengan yang diungkapkan Kerajaan, Koeswara, & Putera (2023) bahwa keberhasilan kebijakan kebudayaan sangat tergantung pada dukungan pemerintah. Di sisi lain, 27 desa (18%) mengalami peningkatan kesadaran masyarakat terhadap kebudayaan setelah program ini dilaksanakan.
Masyarakat Desa Candi mulai menyadari pentingnya melestarikan budaya dan terinspirasi untuk mengembangkan kebudayaan lokal. Di Desa Teluk Majelis, semangat gotong royong dan kebersamaan masyarakat kembali menggelora. Partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan kebudayaan meningkat di Desa Leboni. Temuan ini menandakan bahwa manfaat program tidak hanya dalam aspek formal dan struktural, tetapi juga berhasil menginspirasi masyarakat secara langsung dalam membangun kesadaran yang lebih kuat terhadap budaya lokal. Dampak yang paling terlihat dari Program PKD adalah pada peningkatan kerja sama antardesa di bidang kebudayaan, dengan jawaban sebanyak 37 desa (25%). Hal ini menunjukkan bahwa dampak program ini tidak terbatas pada lingkup desa tertentu, melainkan telah berhasil merangsang sinergi dan kolaborasi antardesa untuk bersama-sama mengangkat dan mengembangkan kebudayaan lokal. Peningkatan kerja sama terlihat pada Desa Cigunung yang berhasil membentuk Kelompok Kebudayaan Tirta Giri yang bergerak dalam pemasaran produk kerajinan dan makanan tradisional. Selain itu, di Desa Batu Cermin, sanggar-sanggar kesenian lokal telah berhasil menjalin kerja sama dengan hotel-hotel di Labuan Bajo, membuka peluang lebih luas untuk promosi dan apresiasi budaya lokal. Di sisi lain, komunitas para ibu di Lamalera menunjukkan peningkatan kerja sama pembuatan motif tenun khas Lamalera. Bentuk-bentuk kerja sama tersebut memperkuat identitas budaya lokal sekaligus memberdayakan ekonomi masyarakat termasuk untuk kepentingan pariwisata. Hal ini sejalan dengan penelitian Siregar dan Priyatmoko (2022) yang mengungkapkan bahwa mengembangkan wisata berbasis budaya lebih menjamin wisata berkelanjutan karena atraksi berupa tradisi atau cara hidup berlangsung terus menerus tidak terpengaruh oleh tren.
Berdasarkan penelitian, secara signifikan dampak Program PKD telah mendorong pelestarian dan pengembangan kebudayaan desa di berbagai tingkatan. Dari revitalisasi budaya yang hampir punah, penciptaan jejaring kebudayaan, pendokumentasian kebudayaan, hingga keterlibatan generasi muda dan pemerintah desa dalam upaya pelestarian. Dengan berbagai inisiatif dan kegiatan yang telah dijalankan, program ini memberikan kontribusi nyata dalam mewujudkan visi dan misi yang tertuang dalam Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan. Harapan terhadap Program PKD Saat kegiatan penelitian ini dilakukan, program baru akan memasuki tahun ke-3. Namun, gambaran berikut dapat mencerminkan bagaimana harapan masyarakat tentang pelaksanaan kegiatan PKD (Gambar 4). Gambar 4 memperlihatkan harapan masyarakat terhadap keberlanjutan Program PKD yang sangat tinggi, yaitu sebanyak 110 desa (75%). Harapan ini mencerminkan dampak positif yang dirasakan masyarakat dari program ini. Harapan keberlanjutan Program PKD mencakup kebutuhan akan penguatan kelembagaan, fasili tasi ruang ekspresi kebudayaan desa, peningkatan dukungan dari pemerintah desa, peningkatan pendampingan, serta perlunya anggaran khusus untuk pemajuan kebudayaan desa.
Harapan-harapan di atas mengindikasikan bahwa meskipun program telah berjalan dengan baik, masih ada beberapa kekurangan dan hambatan yang perlu diatasi. Di samping catatan dari hasil penelitian dan merujuk pada buku pedoman, peran Daya Desa yang bertindak sebagai penghubung sekaligus penggerak masyarakat harus diperhatikan. Daya Desa, sebagai agen perubahan yang membantu terlaksananya perubahan, tidak selalu berperan positif dan sering dimainkan untuk kepentingannya sendiri (Koster, 2018). Oleh karena itu , memperhatikan peran penghubung sangatlah penting agar tetap sesuai dengan tujuan program. Dengan mempertimbangkan kekurangan dan hambatan yang ada, Program PKD tetap menjadi salah satu inisiatif yang berharga dalam upaya mewujudkan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, sebagaimana terlihat dari tingginya antusiasme masyarakat untuk keberlanjutannya. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan upaya bersama dari semua pihak, termasuk pemerintah, masyarakat, dan pemangku kepentingan lainnya.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Program PKD telah berhasil menga jak masyarakat desa untuk menemukenali potensi budaya yang mereka miliki. Dengan memahami potensi budaya, upaya pelindungan kebudayaan melalui peningkatkan pengetahuan masyarakat akan kebudayaan yang dimiliki akan dapat terwujud. Program PKD juga telah berhasil meningkatkan kerja sama antardesa dalam bidang kebudayaan. Hal ini dibuktikan dengan adanya desa yang mengalami perluasan pemasaran hasil kerajinan dan makanan tradisional. Perluasan pemasaran dilakukan melalui kerja sama dengan berbagai pihak swasta, menciptakan ruang ekspresi budaya seperti sanggar dan ruang untuk komunitas budaya, menghidupkan kembali budaya yang telah ditinggalkan, dan desa yang mulai memberi label diri menuju wisata desa dengan potensi budaya yang dimiliki. Beberapa perubahan yang terjadi di desa sasaran program menunjukkan bahwa Program PKD telah berhasil meningkatkan perlindungan budaya tradisional dan memberikan ruang terhadap komunitas untuk mengembangkan dan mengekspresikan budayanya. Hal tersebut dimanfaatkan untuk modal pemberdayaan masyarakat. Saran Program PKD telah memberikan banyak manfaat tetapi masih ada tantangan yang dihadapi yaitu kurang maksimalnya pendampingan dan dukungan dari pemerintah daerah. Oleh karena itu, diperlukan kerja sama dan dukungan yang berkelanjutan dari semua pihak seperti dari Kemendikbudristek, pemerintah daerah, lembaga pendidikan, serta komunitas budaya dan LSM.
Kemendikbudristek dapat memberikan dukungan penguatan kelembagaan dan peningkatan pendampingan program. Hal tersebut dilakukan dengan melakukan evaluasi dan peninjauan secara berkala terhadap pelaksanaan Program PKD. Pemerintah Daerah hendaknya memfasilitasi ruang ekspresi kebudayaan dengan mengembangkan atau memperbaiki fasilitas publik yang bisa dimanfaatkan sebagai ruang ekspresi budaya seperti, taman budaya, aula serbaguna, ataupun sanggar yang mudah diakses oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah daerah dapat memperkuat sinergi antara pemerintah daerah dengan komuni tas budaya lokal untuk merencanakan dan melaksanakan kegiatan kebudayaan yang lebih sesuai dengan potensi lokal. Komitmen dan dukungan pemerintah daerah dapat diwujudkan melalui regulasi yang mendukung pelestarian kebudayaan.
Dukungan tersebut diwujudkan dengan memasukkan Program PKD ke dalam dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes). Selain itu, pemerintah daerah hendaknya mendorong desa untuk mendokumentasikan dan mempromosikan budaya lokal secara aktif melalui media sosial, pameran, dan publikasi buku potensi kebudayaan desa. Lembaga Pendidikan dan Akademisi juga dapat mengambil peran dalam mendukung Program PKD. Dukungan diberikan dengan mengintegrasikan kebudayaan lokal dalam kurikulum pendidikan formal dan nonformal untuk meningkatkan kesadaran generasi muda tentang pentingnya pelestarian kebudayaan. Komunitas Budaya dan LSM dapat terlibat aktif dalam Program PKD dengan mengajak lebih banyak komunitas dan LSM terlibat aktif dalam kegiatan pelestarian budaya dan memberikan pelatihan dan pembinaan terhadap masyarakat. Selain itu, komunitas budaya dapat membangun jejaring untuk saling berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam upaya pelestarian budaya.
SUMBER
https://jurnaldikbud.kemdikbud.go.id/index.php/jpnk/article/view/4489/644