Oleh: Dr. Hartono, S.Pd.,M.Pd.
Media sosial kini telah menjadi kekuatan besar dalam dinamika politik, termasuk dalam Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah). Dengan kehadiran platform-platform seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan TikTok, informasi seputar kandidat dan isu-isu yang diusung semakin cepat tersebar. Namun, pengaruh media sosial dalam Pilkada memunculkan dua sisi yang patut dicermati. Di satu sisi, media sosial dapat menggugah kesadaran dan partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam proses demokrasi. Namun, di sisi lain, penggunaan media sosial sering kali hanya menjadi sekadar gimik, yang tujuannya sekadar untuk meningkatkan popularitas tanpa menawarkan substansi yang berarti.
Dalam era digital ini, calon pemimpin daerah memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan program kerja, gagasan, dan visi mereka kepada masyarakat. Video, infografik, hingga live streaming debat kandidat memungkinkan pemilih memahami lebih jauh kualitas dan karakter calon pemimpin yang akan mereka pilih. Media sosial juga membuka ruang diskusi antara pemilih dan kandidat. Fenomena ini membawa harapan bahwa media sosial mampu menggugah kesadaran dan semangat demokrasi rakyat untuk lebih kritis dalam memilih calon pemimpin.
Namun, pada kenyataannya, media sosial sering kali hanya dimanfaatkan sebagai alat pencitraan. Sebagian kandidat lebih memilih untuk mempublikasikan kegiatan sehari-hari yang bersifat pribadi, mengunggah momen-momen yang terkesan memihak rakyat, atau menonjolkan citra kesederhanaan, yang kadang kala hanya bersifat sementara. Strategi ini hanya sekadar gimik, atau pencitraan tanpa substansi, yang sering kali tidak diiringi dengan pembahasan mendalam terkait isu-isu strategis atau permasalahan nyata yang dihadapi masyarakat.
Lebih jauh, penggunaan media sosial dalam Pilkada juga rentan terhadap penyebaran informasi palsu (hoaks) dan kampanye hitam, yang bertujuan menjatuhkan lawan politik atau membentuk opini publik secara manipulatif. Tanpa edukasi digital yang cukup, masyarakat bisa mudah termakan oleh informasi menyesatkan yang bisa memengaruhi keputusan politiknya.
Oleh karena itu, dalam menghadapi Pilkada, penting bagi masyarakat untuk lebih bijak dan kritis dalam menerima informasi di media sosial. Memilih calon pemimpin bukan hanya soal ketenaran atau pencitraan yang ditampilkan di media sosial, melainkan berdasarkan rekam jejak, komitmen, dan visi misi yang jelas untuk membawa perubahan yang lebih baik. Jika digunakan dengan bijak dan disertai integritas, media sosial bisa menjadi alat demokrasi yang kuat, bukan hanya sekadar gimik, tetapi juga sebagai medium untuk benar-benar menggugah suara rakyat.
www.infodiknas.com